MEMERANGI HOAX DI ERA GENERASI LITERAT
(Ditulis dalam rangka memperingati hari pahlawan 10 November)
Tanggal 10 November ditandai sebagai hari pahlawan. Dimana saat itu arek-arek Suroboyo melakukan aksi heroik dengan merobek bendera Belanda merah, putih, biru menjadi merah putih di hotel Oranje Surabaya. Dengan adanya aksi para pemuda Surabaya tersebut, tentu saja menghantarkan kita terbebas dari penjajahan dan menuju kemerdekaan. Semangat perjuangan para pemuda Surabaya saling bahu-membahu untuk menumpas penjajahan Belanda saat itu tak lepas dari kerjasama yang solid dari seluruh pemuda Surabaya. Dengan berbekal informasi dari siaran radio, surat kabar, serta kode-kode rahasia yang dikirim, Bung Tomo seolah membakar semangat para pemuda Surabaya.
 Seperti itulah sepenggal cerita perjuangan dalam mengibarkan sang merah putih agar selalu gagah berkibar di negaranya sendiri, lantas bagaimana perjuangan menuju kemerdekaan diartikan saat ini ? dimana segala sesuatu yang kita inginkan bisa dengan mudah kita dapat. Misalnya, disaat perut kita terasa lapar akan tetapi kita malas keluar rumah untuk membeli makanan, kita bisa menggunakan layanan pesan antar makanan dari piranti gawai kita, yang terhubung internet, contoh lain saat kita ingin berbelanja sesuatu akan tetapi kita malas untuk berdesak-desakan di mall atau di pasar, kita langsung bisa mengakses website yang menjual barang sesuai kebutuhan kita, atau bahkan bila kita kesulitan dengan PR dari sekolah atau tugas dari kantor yang kita kebingungan untuk mengerjakannya, tentu saja jalan keluar yang paling mudah adalah mengakses search engine untuk mencari sumber informasi yang kita rasa sulit menemukan jawabanya. Semua hal diatas tak lepas dari kecanggihan teknologi. Kita dengan mudah menemukan sumber informasi baik cetak maupun non cetak berupa berita, artikel, iklan, video tutorial atau bahkan gosip yang sedang update saat ini, dengan sumber bisa dari media sosial, website, blog, youtube dan lainya, serta dengan mudah rasa penasaran kita terpuaskan hanya dalam sekejap. Semua hal diatas menandai fenomena ledakan informasi. Selain membawa dampak positif memudahkan segala urusan, ledakan informasi juga membawa efek negatif bila kita tidak bisa memanfaatkannya dengan bijak.
  
PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI YANG SALAH
Kecanggihan teknologi informasi seolah menjadi boomerang bagi si pemakai, seperti contoh kasus bom panci di Bandung, yang terjadi di tahun 2017, tersangka teroris AW belajar merakit bom hasil dari menonton di youtube. AW berencana meledakan bom panci yang didalamnya berisi paku di kafe Braga pada tanggal 16 Juli 2017. AW memasukan bom kedalam tas ranselnya dan menaiki angkot. Bom tersebut rencana akan dimasukan ke tong sampah sekitar kafe, dia membentangkan benang sebagai alat pemicunya, sehingga bila ada orang tersandung benang tersebut maka bom akan meledak. Dengan adanya kasus AW dapat kita petik pelajarannya adalah, jangan sampai kemerdekaan akses informasi yang kita dapat menjadikan kita kebablasan mengkases informasi yang berakibat pada pengrusakan dan merugikan banyak orang. kita harus bijak memilih konten-konten apa saja yang layak kita nonton atau pelajari. Jangan sampai ledakan informasi membuat kita menelan bulat-bulat informasi yang kita dapatkan.

SARING KEMUDIAN SHARING INFORMASINYA
Ledakan arus informasi menjadi pertanda kemerdekaan dan kebebasan informasi di masyarakat, dimana segala sesuatu berbentuk informasi atau pemberitaan dengan mudah kita akses baik oleh masyarakat desa maupun kota. Masyarakat seolah haus akan informasi, dan menyerap segala macam informasi tanpa ada filter apakah informasi tersebut layak atau tidak untuk dikonsumsi. Mengenali dan mengidentifikasi sumber informasi sudah menjadi hal wajib saat ini, jangan sampai kita termakan hoax yang ditebar seperti jaring laba-laba.  Seperti kasus Ratna Sarumpaet (RS), dia menggunakan sumber informasi berupa media sosial untuk menebarkan hoax yaitu, dia mengaku telah diserang dan dianiaya sekelompok orang tidak dikenal pada saat menghadiri konferensi internasional di Bandung pada tanggal 21 September 2018 sehingga mengakibatkan wajahnya lebam dan bengkak. Foto dan pengakuanya banyak beredar di jagat sosial, hal tersebut membuat banyak politisi mengecam serta meminta polisi untuk mengusut tuntas kasus penganiayaan RS, karena saat itu RS menjadi salah satu tim sukses bakal calon presiden RI, akan tetapi setelah polisi melakukan penyelidikan berita yang ditebarkan oleh RS hanya kebohongan belaka. Wajah memar dan lebam yang dideritanya adalah efek dari operasi plastik yang telah dilakukan olehnya. Atas perbuatanya RS dijerat dengan pasal 14 UU no. 1 tahun 1946 tentang hukum pidana dan disangkakan pasal 28 ayat 2 UU ITE. Dalam artikel Agus Sudibyo, Kompas 5 Oktober 2018, menunjukan paradox masyarakat digital. Kelimpahan informasi di era digital ternyata tidak berbanding lurus dengan kedewasaan masyarakat dalam bertindak atau mengambil keputusan (The Death of Experience, Thomas M. Nicholas : 2017). Teknologi informasi bagaikan pisau bermata dua, bila sampai pada orang yang salah maka bisa berakibat fatal. Untuk menyikapi hal tersebut maka masyarakat sedini mungkin perlu dikenalkan dengan budaya literasi. Budaya literasi adalah melakukan kebiasaan berfikir yang diikuti proses membaca, menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan pada kegiatan tersebut menciptakan karya, (https://republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/12/26/ois8w619-budaya-literasi). Untuk mengenalkan budaya literasi dimulai dengan masyarakat yang perlu mengerti dan memahami apa yang dibacanya. Untuk memahami isi dari apa yang dibaca diperlukan usaha dan kemampuan berliterasi. Jangan sampai berita yang kita baca tanpa kita analisa, disebarkan sehingga akan berdampak pada kerugian bagi si penerima informasi maupun diri kita sendiri.

MENCIPTAKAN GENERASI YANG LITERAT
Bagaimana caranya agar kita memiliki kemampuan berliterasi ? atau istilah sekarang yang sedang gencar dikumandangkan disebut dengan dengan generasi literat. Menurut Kalarensi Naibaho dalam  (https://staff.blog.ui.ac.id/clara/2011/01/06/menciptakan-generasi-literat-melalui-perpustakaan/) Seseorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakakukan sesuatu berdasarkan pemahamanya terhadap isi bacaan tersebut. Menurut Yudi Murtarto dalam majalah Media Oktober 2015, untuk menjadi generasi yang literat kita harus melek teknologi, mampu berpikir kritis, analitis, serta peka terhadap lingkungan sekitar. Menciptakan generasi literat diperlukan proses yang panjang, dimulai dari lingkungan keluarga lalu didukung dan dikembangkan di sekolah, lingkungan pergaulan hingga lingkungan pekerjaan. Generasi yang literat akan bisa dan mudah menganalisa dan memahami apapun informasi yang dibaca dan didapatkan. Kita juga harus menyadari bahwa kemampuan akdemis yang tinggi tidak menjamin seseorang akan literat, kepekaan dan daya kritis akan lingkungan sekitar lebih diutamakan sebagai jembatan menuju generasi literat, yakni generasi yang memiliki keterampilan berpikir kritis terhadap segala informasi untuk mencegah reaksi yang bersifat emosional. Bila kita bisa memahami, menganalisa serta berfikir kritis, maka akan mampu menekan gencarnya arus berita palsu (hoax) yang banyak berlalulalang di media elektronik, terutama saat mendekati pilpres seperti saat ini. Tentu saja perlu usaha dan pendewasaan untuk menjadi generasi yang literat, serta perlu didukung dengan lembaga penyedia informasi yang mumpuni, contohnya di lingkungan sekolah dengan adanya perpustakaan yang menyediakan bahan bacaan yang bermutu.

PERAN PERPUSTAKAAN SEBAGAI PENYEDIA INFORMASI ANTI HOAX DI SEKOLAH
Di dunia sekolah peran perpustakaan sebagai lembaga penyedia informasi sudah tidak perlu diragukan lagi. Persepsi tentang perpustakaan yang hanya menyimpan buku-buku jadul dan usang sedikit-demi sedikit bergeser menjadi perpustakaan sebagi tempat yang menyenangkan untuk membaca dan belajar. Hal ini dikarenakan gencarnya kampanye budaya literasi yang mengharuskan anak-anak membaca buku 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Fenomena tersebut membuat perpustakaan berlomba-lomba memenuhi tuntutan penyediaan bahan bacaan yang bermutu. Diharapkan perpustakaan sebagai lembaga penyedia informasi di sekolah perannya terus berkembang dalam dunia literasi contohnya seperti perpustakaan mengadakan lomba literasi tentang kepenulisan, lomba debat, lomba mendongeng serta lomba lainya yang materinya berasal dari perpustakaan itu sendiri. Dengan diadakanya lomba-lomba tersebut, anak-anak akan terpacu untuk membaca dan menuangkan gagasanya. Karena tidak bisa dipungkiri tidak ada orang yang pintar dan hebat yang dilahirkan tanpa membaca buku. Oleh karena itu perpustakaan sekolah memiliki kontribusi besar untuk membentuk masyarakat informasi yang berfikir kritis dan menjadi pembelajar seumur hidup.

TULISAN INI PERNAH DIMUAT DI MAJALAH MEDIA NOVEMBER 2018









Comments

Popular Posts